Sabtu, 25 Juni 2011

Pengecoran Plat Lantai 1 Graha KADIN Kabupaten Bogor



 Kamis, 23 Juni 2011 dimulai pukul 17.00 selesai jam 1 malam, pengecoran lantai 1 Graha KADIN Kab. Bogor yang menghabiskan + 100 m3 Beton Readymix K-250 akhirnya selesai. Sekarang para pekerja sedang mempersiapkan bekisting dan pembesian untuk tiang Kolom lantai 1.






READ MORE - Pengecoran Plat Lantai 1 Graha KADIN Kabupaten Bogor

Pembangunan Graha KADIN Kabupaten Bogor




Tahap Pembangunan Graha KADIN Kabupaten Bogor sekarang sedang melaksanakan pembesian untuk balok dan plat lantai satu, H. TB. Nasrul Ibnu HR selaku Ketua KADIN Kabupaten Bogor selalu mengawasi pelaksanaan Pembangunan Graha KADIN ini.



READ MORE - Pembangunan Graha KADIN Kabupaten Bogor

Jumat, 10 Juni 2011

RAPIMKAB KADIN 2011

 KADIN Kabupaten Bogor pada hari Kamis tanggal 9 Juni 2011 menyelenggarakan Rapat Pimpinan Kabupaten (RAPIMKAB) Tahun 2011. RAPIMKAB ini merupakan amanat dari Kepres No. 17 Tahun 2010 tentang Persetujuan Perubahan AD ART KADIN, yakni Anggaran Dasar KADIN Bab V Pasal 30. Dijelaskan bahwa Rapimkab adalah rapat pimpinan jajaran organisasi dalam rangka koordinasi, sinkronisasi dan upaya-upaya sinergistik dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program antar-jajaran pada tingkat masing-masing.

Agenda tahunan ini selain mengevaluasi program tahun sebelumnya, juga membahas perencanaan program setahun ke depan. Rapimkab KADIN Tahun 2011 ini mengambil tema : "Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Kabupaten Bogor dengan Menggerakkan KUMKM melalui Penguatan KADIN Daerah". Hadir pada pembukaan Rapimkab KADIN Tahun 2011 ini adalah Ketua Umum KADIN Provinsi Jawa Barat, Sekda Kabupaten Bogor mewakili Bupati Bogor yang berhalangan hadir, para pimpinan SKPD, Pimpinan DPRD Kabupaten Bogor, MUSPIDA Bogor, Jajaran Pengurus KADIN Kabupaten Bogor Masa Bhakti 2009-2014, para UKM dan Kelompok-kelompok Tani.

Pada Rapimkab kali ini, juga diselenggarakan penandatanganan Nota Kesepakatan (MoU) antara Pemkab Bogor dengan KADIN Kabupaten Bogor tentang Pengembangan dan Pembangunan Perekonomian di Kabupaten Bogor. Ruang lingkup pada Nota Kesepakatan ini diantaranya meliputi, (a). Perencanaan Pembangunan Daerah, (b). Pendidikan, Pelatihan pelaku sektor usaha, (c). Fasilitasi Potensi Peluang Investasi Sektor Usaha, dan (d). Fasilitasi Peluang Investasi Pengembangan Sarana dan Prasarana sektor pertanian, Peternakan, Perikanan, Perkebunan dan Kehutanan.

Setelah dibuka secara resmi oleh Sekda Bogor mewakili Bupati Bogor, yang sebelumnya pembacaan sambutan dari Ketua Pelaksana, Ketua Kadin Kabupaten Bogor dan Ketua Umum Kadin Provinsi Jawa Barat  acara dilanjutkan dengan diskusi panel mengahdirkan Ir. HM. Zairin, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor dan Drs. H. Udin SYamsudin, MM, Kepala Dinas Koperasi, UKM dan Indag Kabupaten Bogor. Kedua pembicara memaparkan berbagai hal terkait dengan Program Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Perdesaan (RP3) dan Perkembangan UMKM di Kabupaten Bogor.

Selanjutnya acara dilanjutkan dengan Sidang Pleno Rapimkab KADIN Kabupaten Bogor, yang terdiri dari dua sidang Komisi, yakni Komisi A membahas tentang Rekomendasi KADIN Kabupaten Bogor dan Komisi B tentang Program Kerja dan RPBO Kadin Kabupaten Bogor. Untuk lebih mematangkan rumusan hasil sidang pleno maka dibuatlah tim yang terdiri dari Para Wakil Ketua yang dipimpin oleh Wakil Ketua Bidang OKK, Ir. Yonathan Nuhraga.



READ MORE - RAPIMKAB KADIN 2011

Rabu, 08 Juni 2011

Kamis, 9 Juni 2011 RAPIMKAB KADIN Kabupaten Bogor Tahun 2011

RAPIMKAB KADIN KABUPATEN BOGOR TAHUN 2011

Rapat Pimpinan KADIN Kabupaten Bogor Tahun 2011 adalah instrumen keorganisasian untuk menggalang koordinasi, sinkronisasi dan upaya-upaya sinergistik dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program antar jajaran KADIN Kabupaten Bogor. Berdasarkan AD/ART KADIN sesuai dengan Keppres Nomor : 17 Tahun 2010 Rapimkab diselenggarakan minimal 1 kali dalam satu tahun. Rapimkab KADIN Kabupaten Bogor tahun 2011 mengambil tema “Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Kabupaten Bogor dengan Menggerakkan UMKM melalui Penguatan KADIN Daerah”.  

Melalui pelaksanaan Rapimkab ini diharapkan tersusun sasaran, program kerja dan teknis pelaksanaan dalam mewujudkan organisasi KADIN Kabupaten Bogor yang modern, professional dan handal dalam pelayanan dunia usaha. Sehingga bisa meningkatkan posisi tawar dan berkompetisi dalam era pasar bebas. Rapat Pimpinan KADIN Kabupaten Bogor Tahun 2011  yang mengalami pengunduran waktu beberapa kali akhirnya akan dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 2011 bertempat di Gedung Serba Guna I Komplek Pemkab Bogor.
READ MORE - Kamis, 9 Juni 2011 RAPIMKAB KADIN Kabupaten Bogor Tahun 2011

Senin, 06 Juni 2011

Kemiskinan, Pertanian dan Ekonomi Perdesaan



Oleh Suherlan[1]

Desa sangat erat hubungannya dengan kemiskinan, karena perkenomian di desa dipandang sangat tertinggal dibandingkan dengan di kota. Tidak hanya itu, sumberdaya yang ada di desa baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dianggap tidak memiliki prospek yang bagus untuk kemajuan desa. Sektor pertanian biasanya merupakan mata pencaharian utama di desa, namun pada kenyataannya kini sektor pertanian sudah tidak dapat mensejahterakan warga desa lagi. Tragisnya lagi masyarakat desa dituntut untuk memproduksi hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota, tetapi nilai tambah bagi peningkatan kesejahteraan tidak pernah bertambah. Akibatnya disparitas antara kesejahteraan di perdesaan dan di perkotaan menjadi semakin lebar. Sehingga tidaklah heran, kantung-kantung kemiskinan di perdesaan semakin bertambah dari hari ke hari.
Sementara itu, Kemiskinan merupakan sketsa biografis dan fenomena aktual sepanjang perjalanan ummat manusia. Kemiskinan mampu melahirkan dampak-dampak negatif  di kalangan masyarakat itu sendiri, sehingga menempatkan manusia pada posisi, keterbelakangan, ketidakmampuan, kebodohan, dan sebagainya. Menurut (Kuncoro (2006), semua ukuran kemiskinan dipertimbangkan berdasarkan pada norma tertentu. Pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach). Konsep ini tidah hanya digunakan oleh BPS tetapi juga oleh Negara-negara lain seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia (BPS, 2009).
Dampak dari strategi pembangunan pertanian yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa didukung oleh tujuan pemerataan melalui pendistribusian yang baik mengakibatkan kesenjangan dalam masyarakat. Keadaan tersebut juga ditengarai menjadi penyebab utama tingginya jumlah masyarakat miskin. Dengan memberdayakan asset ekonomi yang dimiliki masyarakat miskin merupakan bentuk pendistribusian yang bijaksana, dimana selama ini masyarakat miskin hanya mendapat pembagian (share) keuntungan terkecil dari kegiatan ekonomi yang ada.

Pertanyaannya, kenapa sektor pertanian yang menjadi tulang punggung dan menjadi mata pencaharian sebagian besar masyarakat di perdesaan saat ini tidak bisa membuat masyarakat perdesaan beranjak dari kemiskinan? Strategi pembangunan ekonomi perdesaan seperti apa yang cocok dan bisa mengembalikan tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan?

Menurut Prof. Mubyarto (salah satu pemikir ekonomi perdesaan), sejak Boeke menuliskan disertasinya di tahun 1910 yang berjudul The Problems of Tropical Colonial Economy, maka ketertarikan para peneliti kepada masalah dualistik pada perekonomian perdesaan menjadi sangat besar. Masalah-masalah tersebut pada hakekatnya bermuara pada relatif terabaikannya sektor pertanian dan perdesaan, akibat keyakinan akan mujarabnya teori pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi, setelah perang dunia kedua. Industrialisasi seakan-akan menjadi satu-satunya obat mujarab (panaceae) untuk membangun perkenomian Negara-negara bekas jajahan. Dengan industrialisasi, struktur ekonomi suatu Negara akan semakin seimbang. Padahal, dengan ketidaksiapan (dan ketidakcukupan) sumberdaya modal, teknologi, keterampilan dan keahlian, proses tersebut dianggap hanya akan menciptakan ketergantungan baru dari Negara-negara berkembang terhadap Negara-negara maju (the second generation of dependency).
Pertanian di Indonesia pada awalnya merupakan sektor utama dalam perekonomian nasional. Hal ini terlihat pada sumbangannya dalam pendapatan nasional maupun  jumlah penduduk yang bermata pencaharian darinya. Di tahun 1960-an, hampir 60 persen pendapatan nasional berasal dari pertanian, dengan pangsa tenaga kerja sekitar 60-65 persen. Dengan posisi demikian, tidak dapat disangkal bahwa pertanian merupakan sektor utama dalam perekonomian nasional. Selain itu, perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa sektor ini beberapa kali membuktikan dirinya sebagai “buffer” perekonomian nasional pada saat resesi maupun krisis ekonomi dunia.

Permasalahan di sektor pertanian tentang partisipasi tenaga kerja adalah relatif tingginya penawaran tenaga kerja terhadap kebutuhan/permintaan, serta adanya fleksibilitas pasar tenaga kerja yang memungkinkan adanya setengah pengangguran. Salah satu hasil penelitian antara lain Irawan, et. al. (2007) dan Kustiari, et. al. (2008) tingkat pengangguran tenaga kerja di sektor pertanian berkisar 17-25 persen dari total angkatan kerja. Oleh karena itu semakin menumpuknya tenaga kerja pengangguran di sektor pertanian akan menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja.

Beberapa kebijakan untuk mengatasi permasalahan tenaga kerja setengah pengangguran dan pengangguran diantaranya adalah : (1) Pemanfaatan lahan pertanian yang potensial terutama di luar Jawa, (2) Prioritas pengembangan bagi peternakan dan perikanan (non land based agriculture) yang memiliki potensi besar; (3) Pengembangan SDM (sumber daya manusia) dengan sasaran peningkatan kemampuan agar mampu mengakses teknologi dan (4) Pengembangan kelembagaan pasar tenaga kerja yang memungkinkan partisipasi tenaga kerja yang akses ke berbagai sub sektor pertanian.

Demikian pentingnya sektor pertanian bagi Negara kita, berbagai tahapan pembangunan nasional lima tahunan kala itu memberikan prioritas pada pembangunan sektor ini, khususnya dalam upaya mencapai dan mempertahankan swasembada pangan (beras). Dilema kemudian terjadi (sebagaimana sifat-sifat pertanian di berbagai Negara), akibat prioritas pembangunan pada sektor pertanian tersebut tidak senantiasa memberikan resultan sebagaimana dikehendaki, baik dalam pencapaian produksi, produktivitas maupun pendapatan petani. Hal ini disebabkan ada semacam perangkap kemiskinan stuktural yang teramat berat di sektor ini, sehingga dorongan pertumbuhan dari luar tidak selalu memperoleh respon petani. Mubyarto mencontohkan bahwa pada tahun 1980-an, sektor pertanian yang pangsanya 30 persen PDB nasional hanya mampu menyerap 7 persen kredit perbankan, sementara sektor industri menyerap 28 persen dan jasa 12 persen. Pada tahun 1994, penyerapan kredit di sektor pertanian tetap rendah, sekitar 8 persen, sementara industri mampu menyerap 33 persen kredit, dan jasa menyerap 24 persen kredit.
Sampai saat ini, para ekonom pertanian sangat prihatin terhadap dinamika yang terjadi, khususnya dengan apa yang menjadi resultan dalam pembangunan pertanian selama ini. Negara ini pada dasarnya adalah Negara agraris, Negara dengan sumberdaya dasar pertanian.

Akan tetapi mainstream pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini masih belum mendasarkan pada upaya-upaya peningkatan kapabilitas sumberdaya pertaniannya. Agribisnis hanyalah tetap sebagai jargon peningkatan daya saing pertanian yang tidak dilakukan dalam arah yang jelas. Petani, pekebun, peternak dan nelayan sebagai aktor utama pembangunan pertanian tidak menunjukkan tanda-tanda menjadi lebih produktif, lebih bermartabat dan lebih sejahtera, bahkan cenderung semakin ‘tertinggal’ dibandingkan aktor pembangunan lainnya. Indikator-indikator ekonomi menunjukkan keprihatinan itu.
Sebagai sebuah Negara yang tumbuh dengan bagian terbesar sumberdaya dasar pertanian dan penduduk dengan mata pencaharian utama pertanian, maka pembangunan pertanian seyogyanya menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi nasional. Tidaklah salah jika pertanian mengemban fungsi ekonomi, sosial dan ketenagakerjaan serta fungsi ekologi. Akan tetapi, menjadi persoalan besar makalaka kedudukan dan fungsi yang sangat penting pada pertanian tersebut tidak lagi mampu merefleksikan hal-hal mendasar yang diharapkan. Hal-hal mendasar tersebut adalah : (a) Dalam perpekstif makro, pertanian tidak mampu menunjukkan dirinya sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang produktif dan kompetitif; (b) Secara mikro, kegiatan-kegiatan pertanian menjadi ‘semakin jauh’ dari harapan bagian terbesar pelakunya, para petani-pekebun-peternak-nelayan, menjadi tumpuan kehidupan menjanjikan yang memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan bagi diri dan keluarganya. (c) Bahkan dari aspek wilayah (spasial), kegiatan-kegiatan pertanian dalam lingkup luas tidak mampu menjadi daya dorong pembangunan wilayah dan perdesaan, yang justru bagian terbesar pelaku dan kegiatan tersebut berada di dalamnya. 

Kendala Permodalan bagi Pelaku UKM Sektor Pertanian

Kegiatan perekonomian di perdesaan masih didominasi oleh usaha-usaha skala mikro dan kecil dengan pelaku utama para petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian, pengolah hasil pertanian, serta industri rumah tangga. Namun demikian, para pelaku usaha ini pada umumnya masih dihadapkan pada permasalahan klasik yaitu terbatasnya ketersediaan modal. Sebagai unsur esensial dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat perdesaan, keterbatasan modal dapat membatasi ruang gerak aktivitas sektor pertanian dan perdesaan.

Tidak banyak perbankan yang mau terjun ke sektor pertanian dan perdesaan. Ada banyak penyebab, menurut Indiastuti (2005), ketidaktertarikan perbankan disebabkan oleh tiga hal; pertama, pengalaman dan trauma beberapa bank menghadapi kredit bermasalah sewaktu pengucuran KUT; Kedua, Aturan BI yang ketat agar bank prudent dalam kegiatan penyaluran  dana, dan Ketiga, banyak bank (khususnya bank besar) yang tidak memiliki pengalaman untuk menyalurkan kredit mikro.

Untuk menjawab permasalahan keterbatasan modal serta dengan kemampuan fiskal pemerintah semakin berkurang, maka perlu lebih mengoptimalkan potensi lembaga keuangan yang dapat menjadi alternatif sumberdana bagi petani dan masyarakat perdesaan. Salah satu kelembagaan keuangan yang dapat dimanfaatkan dan didorong untuk membiayai kegiatan perekonomian di perdesaan yang mayoritas usaha penduduknya masuk dalam segmen mikro adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Lembaga ini sebetulnya telah banyak tumbuh dan mengakar dalam masyarakat perdesaan, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. 

Hak Atas Lahan / Tanah

Selama ini ada anggapan bahwa pendapatan yang diperoleh rumah tangga perdesaan dari usahatani berhubungan dengan luas penguasaan lahan (milik dan bukan milik). Semakin luas tanah yang dimiliki, semakin tinggi pendapatan yang diperoleh dari usahatani. Walaupun ada penelitian yang menyatakan bahwa akses atas tanah tampaknya tidak memadai lagi dijadikan indikitator tingkat pendapatan rumah tangga perdesaan.
Lahan (tanah) merupakan asset/sumberdaya dan faktor produksi yang terpenting dan utama dalam aktivitas usaha tani. Semakin terbatasnya lahan usaha tani di masa kini dan beberapa faktor lain yang mempengaruhi pengalihan hak garapan, seperti: pendapatan non pertanian, produktivitas lahan, tingkat upah, serta dilatarbelakangi berbagai alasan berbeda bergantung keadaan fisik lahan, demografi, maupun sosial ekonomi setempat. Faktor-faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah : (a) Adanya kepemilikan lahan oleh orang luar desa; (b) Jarak lahan dengan rumah tempat tinggal; (c) Kekurangan tenaga kerja; (d) Ketimpangan pemilikan lahan; (e) Faktor resiko (Soentoro, 1989).

Hal tersebut melahirkan berbagai bentuk dalam penguasaan dan pengelolaan maupun sebagai istilah untuk pengalihan hak kuasa dan garap seorang pemilik lahan kepada orang lain, seperti : pemilik, penyakap atau bagi hasil, penyewa, numpang, gadai, buruh tani, dan sebagainya. Sedangkan sumber pemilikannya dapat bersumber dari warisan, membeli, hibah pemberian hak kelola, ataupun pemberian dari seseorang/suatu pihak/pemerintah. Perbedaan penguasaan dan penilikan lahan tersebut dapat mempengaruhi kesediaan dan minat petani dalam mengelola usahataninya.

Konsep Penguasaan Lahan

Menurut Wiradi dalam Rachmat, M. (2000), penguasaan tanah merupakan tatanan dan prosedur yang mengatur hak dan kewajiban dari individu atau kelompok dalam penggunaan dan pengawasan atas tanah. Penguasaan lahan di Indonesia memiliki ragam bentuknya. Status hak tanah yang ditetapkan oleh UUPA adalah (a) hak milik; (b) hak guna usaha (HGU); (c) hak guna bangunan (HGB); (d) hak pakai; (e) hak sewa; (f) hak membuka tanah; (g) hak memungut hasil hutan; (h) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Dengan diuandangkannya UUPA, beberapa bentuk penguasaan tanah tradisional diubah status hukumnya.

Status kepemilikan lahan yang beragam akan mempengaruhi karakteristik-karakteristik tertentu antara lain : (a) Jaminan untuk akses terhadap lahan dalam jangka panjang, (b) Kemudahan untuk akses kepada lembaga perkreditan, (c) kemudahan membuat keputusan berkaitan dengan pemanfataan lahan, (d) Jaminan terhadap penyerobotan dari pihak lain, (e) Jaminan untuk memperoleh seluruh hasil produksi atas pemanfaatan lahan; (f) Kemudahan mentrasfer hak-hak penguasaan atas lahan kepada pihak lain, (g) Kemudahan ikut serta dalam pembentukan kelompok dan (h) Kemudahan campur tangan pemerintah dalam hal penyuluhan, bantuan kredit maupun investasi langsung (Pakpahan, et al, 1992).

Pemberdayaan dan Partisipasi

Pemberdayaan dan partisipasi petani miskin merupakan dua aspek utama yang selalu dikaitkan dan menjadi fokus utama dalam proses pembangunan pertanian. Hal ini dikarenakan bahwa sebagai tujuan akhir, pemberdayaan petani miskin merupakan target yang hendak dicapai, sedangkan partisipasi petani miskin adalah bentuk atau alat untuk mencapai tujuan dari suatu program pembangunan pertanian yang ditargetkan. Dengan demikian, dari kondisi tersebut dapatlah dipahami bahwasannya partisipasi petani miskin diharapkan dapat diartikan sebagai suatu pendekatan yang cukup strategis kedudukannya dalam mewujudkan tercapainya pemberdayaan petani miskin di perdesaan.

Pemberdayaan (empowerment) merupakan strategi/upaya untuk memperluas akses masyarakat terhadap suatu sumberdaya ataupun program (misalnya, kebijakan pembangunan pertanian dan perdesaan) melalui penciptaan peluang yang seluas-luasnya agar masyarakat lapisan bawah (petani) mampu berpartisipasi. Pada hakekatnya, makna pemberdayaan mencakup 3 aspek, yaitu (1) Menciptakan iklim kondusif yang mampu mengembangkan potensi masyarakat setempat, (2) Memperkuat potensi/modal sosial masyarakat demi meningkatkan mutu kehidupannya; (3) Mencegah dan melindungi agar tingkat kehidupan masyarakat yang sudah rendah menjadi semakin melemah (semakin rendah). Dengan kata lain, pemberdayaan sebagai sebuah upaya peningkatan kemampuan masyarakat agar tanggap dan kritis terhadap berbagai perubahan, serta mampu mengakses proses pembangunan untuk mendorong kemandirian yang berkelanjutan serta mampu berperan aktif dalam menentukan nasibnya sendiri.



[1] Penulis adalah Direktur Eksekutif KADIN Kabupaten Bogor, Penggiat Pemberdayaan Kaum Tani.
READ MORE - Kemiskinan, Pertanian dan Ekonomi Perdesaan